Oleh: Asep Koswara*
“All the students are the same until they write a book, reading more and speaking well”
Mahasiswa dengan sed-eret title dan peran-nya, dianggap sebagai figur penting yang bisa memberikan kontribusi nya-ta terhadap kehidupan sosi-al. Kekuatannya sebagai seorang elite intelektual, dituntut memberikan pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang bisa di ekseskusi secara real dalam kehidupan nyata. Ide-ide yang cemerlang sering menjadi cirri khas, sehingga tak salah apabila bangsa ini menyimpan harapan besar dipundak para mahasiswa sebagai generasi penerus yang bisa meneruskan estafet kepeminpinan bangsa.
Ada tiga budaya yang menjadi ciri khas dan ini tidak boleh ditinggalkan dari kegiatan kebiasaan mahasiswa; ketiga budaya tersebut adalah membaca, menulis dan berbicara. Dalam bahasa secara integralnya ini sering disebut sebagai budaya literasi. Budaya literasi merupakan ciri khas penting yang menunjukan bahwa mahasiswa itu memang seorang elite intelektual. Dengan membaca maha-siswa bisa menambah wawasan dunia, dengan menulis mahasiswa bisa berkarya dan menyamp-aikan wacana, dan dengan berbicara mahasiswa bisa kritis tanpa harus anarkis.
Bagaimana kondisi perkembangan budaya literasi tersebut di (konteks) Indonesia?
Dalam konteks Indonesia perkembangan dan kesadaran akan budaya literasi terlihat sangat kurang dan terbelakang. Bisa terlihat dari universitas atau perguruan tinggi yang ada, belum ada yang masuk urutan terdepan top universitas dunia. Belum ada yang bisa bersaing secara sejajar dengan universitas-universitas Eropa misalnya. Tentunya hal tersebut disebabkan karena perbedaan perkemb-angan dan kesadaran budaya literasi antara Indo-nesia dan Negara-negara Eropa tersebut. kita coba bandingkan ketiga budaya literasi tersebut.
1. Membaca
Tingkat membaca mahasiswa Indonesia sungguh sangat kurang dan tidak ada patokan khusus yang ditawarkan atau di wajibkan oleh pemerintah terutama institusi pendidikan itu sendiri. Dari beberapa analisis saya dari beberapa universitas dan perguruan tinggi yang ada di Bandung misalnya; rata-rata minat baca yang ada 25-100 halaman dalam seminggu. Bahkan dari beberapa mahasiswa yang coba saya wawancarai, mereka tidak pernah baca buku sekali-pun dalam seminggu itu. Ini gambaran yang sangat mengkha-watirkan saya pikir.
Berbeda dengan budaya membaca yang bisa kita temui di daerah Eropa, informasi baru-baru ini budaya membaca mereka meningkat- yang awalnya 1500 halaman per minggu, menjadi 2000 halaman. Contoh spesifiknya (Gola Gong, 2004) para dosen sastra di Singapura menugasi mahasiswanya untuk membaca 6 judul novel, Brunai; 7 judul, Thailand; 5 judul, Jepang; 15 judul, Jerman; 22 judul, Amerika; 32 judul, Kanada; 13 judul, Francis; 20 judul, Belanda; 30 judul. Bagaimana dengan Indonesia????
Ini menunjukan perbedaan yang begitu kontras tentunya. Suatu hal yang mengerikan, tidak salah apabila perkembangan baik intitusi universitas maupun mahasiswa Indonesia sendiri tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Perlu pem-benahan yang secara mendasar baik dari peme-rintah maupun kesadaran para mahasiswanya sendiri.
2. Menulis
Sering terjadi salah persepsi bahwa budaya literasi hanya berhubungan dengan budaya membaca saja padahal menulis juga termasuk kedalam budaya literasi. Budaya literasi menulis dalam konteks Indonesia sendiri juga terlihat menyedihkan; bisa dilihat bukan hanya dari para mahasiswanya, namun para pengajarnyapun mempunyai track record yang jelek dalam masalah menulis. Terlihat dari berapa banyak dosen yang mau menulis dan bukunya bisa di nikmati. Para pendidiknya saja tidak mau menulis, bagaimana para peserta didiknya?
Coba kita bandingkan dengan para intelek-tual yang ada di Eropa. Semua akademisi yang ada di Eropa mempunyai pedoman ataupun jargon khusus dalam menulis, yaitu “all the scientist are the same until they write a book” (semua akademisi adalah sama, sampai ia menulis sebuah buku). Artinya semua akademisi baik para pengajar ataupun mahasiswanya semuanya akan dipandang sama tak peduli sampai tingkatan professor, apabila ia belum menulis sebuah buku. Tentunya itu jargon yang luar biasa apabila bisa diterapkan dan disadari oleh para kaum akademisi yang ada di Indonesia.
Adapun alasan atau faktor yang menyebab-kan lemahnya budaya menulis masyarakat Indonesia sendiri adalah, seperti yang pernah di katakan oleh Chaedar Al-wasilah, 2003 bahwa ada sebelas ayat sesat yang menyebabkan hal tersebut.
Ayat-ayat tersebut adalah: pertama: Anggapan bahwa literasi adalah kemampuan membaca. Kedua: Anggapan bahwa mahasiswa tidak perlu diajari cara menulis. Ketiga: Anggapan bahwa pemahaman teori menulis akan membuat siswa mampu menulis. Keempat: Anggapan bahwa tidak mungkin mengajarkan menulis pada kelas-kelas besar. Kelima: Anggapan bahwa menulis dapat diajarkan manakala siswa telah menguasai tata bahasa. Keenam: Anggapan bahwa karangan yang sulit dipahami memperlihatkan kehebatan penulisnya. Ketujuh: Anggapan bahwa menulis hanya dapat diajarkan manakala siswa sudah dewasa. Kedelapan: Anggapan bahwa menulis karangan naratif dan ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan daripada genre-genre yang lainnya. kesembilan: Anggapan bahwa pengajaran bahasa adalah tanggung jawab guru bahasa, kesepuluh: Anggapan bahwa menulis harus diajarkan lewat perkuliahan bahasa. Kesebelas: Anggapan bahwa bacaan atau pengajaran sastra hanya relevan bagi [maha] siswa fakultas/jurusan sastra
3. Berbicara
Berbicara merupakan hal terpenting yang harus dimiliki seorang mahasiswa, tentunya bukan sekedar bicara karena kalau sekedar bicara semua orangpun bisa. Bicaranya seorang mahasiswa tentunya berbeda dengan bicara orang yang bukan mahasiswa. Mahasiswa cenderung dianggap mempunyai daya ke kritisan yang lebih. Tentunya bicaranya mahasiswa mengandung makna dan wawasan yang mendalam. Wawasan tersebut tentunya tidak bisa lepas dari aktivitas banyaknya membaca. Tanpa bacaan yang banyak, pembicara-an terlihat kosong dan hampa.
Permasalah berbicara sering disebabkan oleh rasa kurang kepercayaan diri. Bisa dilihat dalam setiap diskusi di kelas misalnya; hanya beberapa orang saja yang mempunyai keberanian untuk mengungkapkan gagasan dan pendapatnya. Kebanyakannya hanya memilih diam, dan diamnya mereka sebetulnya bukan dikarenakan tidak tahu namun kebanyakan dikarenakan takut salah, -terus dicemooh dan merasa turun harga dirinya.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. ketidak beranian ini jarang menghinggapi para mahasiswa aktivis yang misalnya aktif dalam oragnisasi-organisasi, namun sering menimpa mereka yang hanya mengandalkan ruang kelas saja untuknya mendapatkan pengetahuan. Dan pihak kinerja dosen-pun cende-rung membiarkan kebiasaan buruk ini. Padahal kalau dibandingkan dengan universitas eropa, misalnya dengan Binghamton University. Dalam evaluasi mingguan para dosen memberikan tugas yang kesemuanya menuntut para mahasiswa untuk berbicara. (1) mahasiswa disuruh menjawab pertanyaan sederhana, (2) mahasiswa disuruh untuk membuat renungan dan refleksi tentang sebuah topic (3) melakukan penelitian sederhana dan mengungkapkannya di depan kelas.
***
Memang dalam kenyataannya setiap maha-siswa sering mempunyai spesialis tersendiri dalam budaya literasi tersebut; misalnya ada yang lebih suka pada membacanya, ada yang pada menulisnya atau juga ada yang pada bicaranya. Namun bukanlah hal yang sulit saya pikir untuk meny-eimbangkan antara ketiga budaya literasi tersebut, selama kita punya kemauan yang keras.
Saya mencoba membandingkannya dengan budaya literasi Eropa, hanya sebagai analogi dan semoga ini bisa menyadarkan kita sebagai mahasiswa bahwa kita sudah tertinggal jauh. Berkembangnya sebuah bangsa bisa dilihat dari seberapa banyak buku yang dibaca, berapa banyak buku yang ditulis dan seberapa banyak oang yang berani mengungkapkannya dengan ucapan (ber-bicara).
*Penulis adalah mahasiswa Konsentrasi Linguistik UIN SGD Bandung, kader HMI cab. Kab. Bandung
Mahasiswa Dan Budaya Literasi
Written By Unknown on Selasa, 24 Juli 2012 | 02.36
Related Articles
Label:
opini
Posting Komentar