Oleh: Fajar Septian*
“Islam harus menjadi landasan ideologi Indonesia” itulah cita-cita besar dari seorang tokoh fenomenal Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo. Dengan tekad yang kuat dalam dirinya Kartosuwiryo berupaya untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang berideologikan Islam. Bahkan untuk merealisasikan tekadnya beliau rela dihukum mati oleh rezim Orde Lama pada saat itu. Agar terwujudnya masyarakat Islam yang sempurna baik pada tataran ibadah maupun muamalah maka jalan untuk merealisasikanya adalah haruslah terwujud Negara Islam. Seperti yang terdapat pada kaidah Ushul fiqh yang menyatakan bahwa “sesuatu yang dikarenakan keberadaannya untuk menuju sesuatu yang telah diwajibkan maka keberadaannya menjadi wajib”. Karena itu keberadaan Negara Islam adalah wajib adanya dikarenakan dengan perantara Negara tersebut maka aturan – aturan mengenai syariat akan menjadi lebih sempurna (Ardho pamungkas).
Rencana awal Kartosuwiryo dan teman-temanya yang lain adalah mecoba berafiliasi dengan pemerintah, melalui perantara parlemen dengan menggunakan kendaraan partai, seperti PSII pada periode sebelum kemerdekaan dan masyumi pada era awal-awal kemerdekaan. Akan tetapi Kartosoewiryo merasa kecewa setelah teman-temanya yang ada diparlemen sudah tidak lagi berpijak pada orientasi awal. Kemudian beliau berinisiatif untuk berjuang sendiri di luar ranah parlement. Hal ini dapat dibuktikan dalam sebuah dokumentasi yang disusun oleh majelis penerangan negara Islam bahwa Kartosoewiryo dilukiskan sebagai pribadi yang mempunyai intelektualitas tinggi, namun ia tak pernah memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya karena ia selalu berada pada sebuah lingkungan orang-orang yang tujuan utamanya hanya untuk mengejar kekuasaan belaka. (“Darul Islam dan Kartosuwiryo”/Holk H Dengel ).
Hal tersebut diperburuk ketika Amir Syarifudin naik menjabat sebagai Perdana Menteri menggantikan Syahrir. Karena bagi Kartosoewiryo Amir Syarifudin merupakan musuh dalam selimut karena ia telah menjual Negara Indonesia (Pasundan) kepada para penjajah terutama ketika terjadi Perjanjian Renville. Selama hampir lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945 – 1950 ). Menyusul kekalahan Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia. Dan tak diragukan lagi bahwa yang diprioritaskan oleh para pendiri bangsa pada saat itu adalah kemampuan untuk memperahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa. Bahkan setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah pada tahun 1949 kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang cukup besar melalui perantara partai politik Islam Masyumi, yang dibentuk pada bulan November 1945. Untuk alasan itu sampai-sampai Syahrir, seorang pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri di era revolusi, menyatakan “Jika pemilihan umum dilaksanakan pada tahun-tahun tersebut, maka Masyumi yang pada saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modernis seperti Muhammadiyah, muslim tradisional seperti NU dan organisasi Islam lainya, dengan jumlah anggotanya lebih besar di daerah pedesaan maka akan memperoleh 80 persen suara (“Islam dan Negara” / Bachtiar Effendy).
semakin lama maka semakin besarlah organisasi politik ini dan semakin bertambah pula keanggotaannya, bahkan sampai melebarkan sayapnya kedaerah-daerah di Nusantara. Melihat kondisi seperti ini Kartosoewiryo pun ikut bergabung dalam kepengurusan partai politik Masyumi. Maka pada keputusan Konferensi Masyumi daerah Priangan menyatakan bahwa Kartosuwiryo menjadi wakil ketua dan sedangkan ketua umumnya sendiri dijabat oleh KH Muchtar dan Sanusi Partawidjaja sebagai sekertaris badan pengurus.
Keadaan ini menjadi ancaman bagi para penjajah dan kalangan nasionalis sekuler. dikarenakan kolonial Belanda menjadikan tanah Priangan sebagai basis inti mereka, dan di lain pihak dari pihak Republik juga menempatkan divisi Siliwangi yang terkenal cukup handal.
Pada kongres Masyumi pertama di Yogyakara ditetapkan untuk membentuk laskar baru selain Hizbullah yang kemudian diberi nama Sabilillah yang terdiri dari generasi yang lebih tua. Bahkan guna mencapai koordinasi yang lebih baik di antara sesama anggota laskar maka dibentuklah Markas Daerah Priangan Barat (MDPP) yang didirikan pada tanggal 15 September 1945 di Bandung. Kekuatan kelompok ini masih terasa cukup besar sampai dengan tahun 1947, namun setelah itu mulai tampak tabiat asli dari umat Islam yang sulit sekali untuk bersatu ketika menyangkut masalah politik, yaitu ketika KNIP mengadakan sidang di Malang untuk memutuskan apakah Perjanjian Linggarjati sebagai dampak agresi militer Belanda I, dapat disetujui atau tidak. Kartosoewiryo termasuk politikus Masyumi yang sangat keras penolakannya pada perjanjia tersebut, karena ia menilai perjanjian tersebut sangat merugikan pihak pejuang kemerdekaan yang sedang berjuang di daerah Priangan.Hal ini mengakibatkan semakin terjepitlah para pejuang dan lasykar Islam setelah keadaan itu diperburuk oleh adanya dukungan Kabinet Amir Syarifudin terhadap perjanjian tersebut. Secara sepontan permasalahan ini membuat Masyumi dijadikan sebagai musuh bersama oleh pemerintag RI maupun colonial Belanda.
Bentrokan antara tentara Republik dan tentara Lasykar tidak terhindarkan lagi. Tepat pada Agustus 1945 tentara Republik diharuskan pindah menuju Jawa Tengah sebagai konsekwensi pelaksanaan Perjanjia Renville sebagai akibat dari agresi militer Belanda II. Akan tetapi Sabilillah dan Hizbullah , mereka bersama Kartosoewiryo masih menetap di Jawa Barat atas persetujuan Panglima Soedirman.
Ketika Kartosoewiryo diangkat sebagai imam dan panglima tertinggi DI/TII beliau menyusun pasukan pertahanan dalam waktu tiga bulan setelah ditetapkan, terjadilah pertarunagn idiologi sebagai landasa Negara. Kartosoewiryo membawa ideologi Islam juga Muso membawa ideologi komunis dan Soekarno membawa faham nasionalis sebagai landasan negara.
Saat Negara menglami Vaccum Of Power, Kartosoewiryo dengan segera membentuk semacam dewan pemerintahan yang membawahi departemen, seperti sekertaris yang dijabat oleh Supraja, bendahara oleh Sabusi Partawijaya lalu departemen penerangan serta kehakiman oleh Toha Arsyad dan Gozali Tusi
Akhirnya Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Melihat kejadian itu Soekarno kemudian mengirimkan tentara Divisi Siliwangi untuk menumpas gerakan Kartosoewiryo. Kisruh itu berlangsung lama, hingga pada tahun 1962 gerakan NII baru mampu dipatahkan setelah Kartosoewiryo ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 ketika beliau bersembunyi di gunung Rakutak, Jawa Barat.
Kartosoewiryo dihukum mati secara ditembak oleh tentara Soekarno, mantan sahabatnya sendiri. Karena sebelumnya antara Soekarno, Kartosoewiryo dan Muso adalah satu rumah, tetapi mereka berpisah setelah idiologi yang mereka bawa berbeda. (M Natsir dan Darul Islam, Hendra Gunawan)
Melihat realita sekarang, ketika diberbagai daerah di Indonesia dipegang oleh orang-orang Islam, bahkan partai Islam sekalipun. Belum mampu menjadikan daerah yang dia pimpin menjadi daerah yang agamis, tentunya mampu mengelaborasikan aturan-aturan Islam dalam aturan daerah (Perda) yang dipimpinya.munmgkin hanya daerah istimewa aceh Aceh yang saat ini telah mampu menyisipkan aturan Islam dalam aturan daerah kemudian merealisasikan dengan sungguh-sungguh. Jawa Barat sampai saat ini belum mampu lantang maju kedepan menunjukan eksistensinya sebagai salah satu daerah yang menegakan syariat Islam. Padahal kita tahu orang nomor satu di Jawa Barat saat ini merupakan orang Islam (Muslim) dan diusung pula oleh partai Islam.
kini hilangnya semangat perjuangan penegakan Islam yang pernah diajarkan oleh Marijan Kartosoewiryo. saat ini para pemimpin yang beragamakan islam tidak lebih seperti para sahabat kartosoewiryo yang masuk pada tataran parlemen dan kemudian lupa pada orientasi awal mereka. Maka saat ini perlu untuk merevitalisasi perjuangan yang pernah diajarkan oleh jendral besar NII.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Bandung
Jurusan Sejarah Peradaban Islam Semester VII,
Kader HMI Komisariat Adab dan Humaniora.
Revitalisasi Semangat Perjuangan Kartosoewiryo
Written By Unknown on Sabtu, 13 Oktober 2012 | 16.53
Label:
opini
Posting Komentar