Home » » Revitalisasi Semangat Perjuangan Kartosoewiryo

Revitalisasi Semangat Perjuangan Kartosoewiryo

Written By Unknown on Sabtu, 13 Oktober 2012 | 16.53

Oleh: Fajar Septian*

“Islam harus menjadi landasan ideologi Indonesia” itulah cita-cita besar dari seorang tokoh fenomenal Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo. Dengan tekad yang kuat dalam dirinya Kartosuwiryo berupaya untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang berideologikan Islam. Bahkan untuk merealisasikan tekadnya beliau rela dihukum mati oleh rezim Orde Lama pada saat itu. Agar terwujudnya masyarakat Islam yang sempurna baik pada tataran ibadah maupun muamalah maka jalan untuk merealisasikanya adalah haruslah terwujud Negara Islam. Seperti yang terdapat pada  kaidah Ushul fiqh yang menyatakan  bahwa “sesuatu yang dikarenakan keberadaannya untuk menuju sesuatu yang telah  diwajibkan maka keberadaannya menjadi wajib”. Karena itu keberadaan Negara  Islam adalah wajib adanya  dikarenakan dengan perantara Negara tersebut maka  aturan – aturan mengenai syariat  akan menjadi lebih sempurna (Ardho pamungkas).

Rencana awal Kartosuwiryo dan teman-temanya yang lain adalah mecoba berafiliasi dengan pemerintah, melalui perantara parlemen dengan menggunakan kendaraan partai, seperti PSII pada periode sebelum kemerdekaan dan masyumi pada era awal-awal kemerdekaan. Akan tetapi Kartosoewiryo merasa kecewa setelah teman-temanya yang ada diparlemen sudah tidak lagi berpijak pada orientasi awal. Kemudian beliau berinisiatif untuk berjuang sendiri di luar ranah parlement. Hal ini dapat dibuktikan dalam sebuah dokumentasi yang disusun  oleh majelis penerangan  negara Islam bahwa Kartosoewiryo  dilukiskan sebagai  pribadi yang  mempunyai intelektualitas  tinggi, namun ia tak pernah memiliki kesempatan   untuk mengembangkan kemampuannya karena ia selalu  berada pada sebuah lingkungan orang-orang  yang tujuan utamanya hanya untuk mengejar kekuasaan belaka.  (“Darul Islam dan Kartosuwiryo”/Holk H Dengel ).

Hal tersebut diperburuk ketika Amir  Syarifudin naik menjabat sebagai Perdana Menteri menggantikan Syahrir. Karena bagi Kartosoewiryo  Amir Syarifudin merupakan musuh  dalam selimut  karena ia telah menjual Negara Indonesia (Pasundan) kepada para penjajah terutama ketika  terjadi Perjanjian Renville. Selama hampir lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memasuki  masa-masa  revolusi  (1945 – 1950 ). Menyusul kekalahan Jepang  dari sekutu, Belanda bermaksud  untuk kembali menjajah Indonesia. Dan tak diragukan  lagi bahwa yang diprioritaskan  oleh para pendiri  bangsa pada saat itu  adalah kemampuan untuk memperahankan  Republik Indonesia yang baru berdiri  dan mencegah  Belanda untuk  kembali berkuasa. Bahkan setelah Belanda  menyerahkan  kedaulatan  kepada pemerintah pada tahun 1949 kelompok Islam perlahan-lahan  mulai memperlihatkan  kekuatannya yang cukup besar  melalui perantara  partai politik Islam Masyumi, yang dibentuk pada bulan November 1945. Untuk alasan itu  sampai-sampai Syahrir,  seorang pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan juga pernah  menjabat sebagai  Perdana Menteri di era revolusi, menyatakan  “Jika pemilihan umum dilaksanakan  pada tahun-tahun tersebut, maka Masyumi  yang pada saat itu merupakan gabungan  dari kalangan muslim modernis seperti Muhammadiyah, muslim tradisional seperti NU dan organisasi Islam lainya, dengan jumlah anggotanya  lebih besar  di daerah pedesaan maka akan memperoleh 80 persen suara (“Islam dan Negara” / Bachtiar Effendy).


semakin lama maka semakin besarlah organisasi politik ini  dan semakin bertambah pula  keanggotaannya, bahkan sampai  melebarkan sayapnya kedaerah-daerah di  Nusantara. Melihat kondisi seperti ini Kartosoewiryo pun ikut bergabung dalam kepengurusan partai politik Masyumi. Maka pada keputusan  Konferensi Masyumi daerah Priangan menyatakan bahwa  Kartosuwiryo  menjadi wakil ketua dan sedangkan  ketua umumnya   sendiri dijabat oleh KH Muchtar dan Sanusi  Partawidjaja sebagai sekertaris badan pengurus.
Keadaan ini menjadi ancaman bagi para penjajah  dan kalangan nasionalis  sekuler. dikarenakan  kolonial   Belanda menjadikan tanah  Priangan sebagai basis inti mereka, dan di lain pihak dari pihak Republik juga menempatkan  divisi Siliwangi yang terkenal cukup handal.


Pada kongres Masyumi  pertama  di Yogyakara ditetapkan untuk membentuk laskar baru selain Hizbullah yang kemudian diberi nama Sabilillah yang terdiri dari  generasi yang lebih tua. Bahkan guna mencapai koordinasi yang lebih baik di antara sesama  anggota laskar  maka dibentuklah  Markas Daerah Priangan Barat (MDPP)  yang didirikan pada tanggal 15 September 1945 di Bandung. Kekuatan  kelompok ini masih  terasa cukup besar  sampai dengan tahun 1947, namun setelah itu  mulai tampak  tabiat asli dari umat Islam yang sulit sekali  untuk bersatu  ketika menyangkut  masalah politik, yaitu ketika KNIP mengadakan sidang  di Malang untuk memutuskan apakah Perjanjian Linggarjati  sebagai dampak agresi militer  Belanda I, dapat disetujui atau tidak. Kartosoewiryo termasuk  politikus Masyumi  yang sangat keras penolakannya  pada perjanjia tersebut, karena ia menilai  perjanjian tersebut sangat merugikan  pihak pejuang kemerdekaan  yang sedang berjuang  di daerah Priangan.Hal ini mengakibatkan semakin terjepitlah para pejuang dan lasykar Islam setelah keadaan itu diperburuk oleh adanya dukungan Kabinet Amir Syarifudin terhadap perjanjian tersebut. Secara sepontan permasalahan ini membuat Masyumi dijadikan sebagai musuh bersama oleh pemerintag RI maupun colonial Belanda.


Bentrokan antara tentara Republik dan tentara Lasykar tidak terhindarkan lagi. Tepat pada Agustus 1945  tentara Republik diharuskan pindah menuju Jawa Tengah  sebagai konsekwensi  pelaksanaan Perjanjia Renville sebagai akibat dari agresi militer  Belanda II. Akan tetapi Sabilillah  dan Hizbullah , mereka bersama Kartosoewiryo  masih menetap di Jawa Barat atas persetujuan Panglima Soedirman.


Ketika Kartosoewiryo diangkat sebagai imam dan panglima tertinggi DI/TII beliau menyusun pasukan pertahanan dalam waktu tiga bulan setelah ditetapkan, terjadilah pertarunagn idiologi sebagai landasa Negara. Kartosoewiryo membawa ideologi Islam juga Muso membawa ideologi komunis dan Soekarno membawa faham nasionalis sebagai landasan negara.


Saat Negara menglami Vaccum Of  Power, Kartosoewiryo dengan segera membentuk semacam dewan pemerintahan yang membawahi departemen, seperti sekertaris yang dijabat oleh Supraja, bendahara oleh Sabusi Partawijaya lalu departemen penerangan serta kehakiman oleh Toha Arsyad dan Gozali Tusi

Akhirnya Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Melihat kejadian itu Soekarno kemudian  mengirimkan tentara Divisi Siliwangi untuk menumpas gerakan Kartosoewiryo. Kisruh itu berlangsung lama, hingga pada tahun 1962 gerakan NII baru mampu dipatahkan setelah Kartosoewiryo ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 ketika beliau bersembunyi di gunung Rakutak, Jawa Barat.
Kartosoewiryo dihukum mati secara ditembak oleh tentara Soekarno, mantan sahabatnya sendiri. Karena sebelumnya antara Soekarno, Kartosoewiryo dan Muso adalah satu rumah, tetapi mereka berpisah setelah idiologi yang mereka bawa berbeda. (M Natsir dan Darul Islam, Hendra Gunawan)


Melihat realita sekarang, ketika diberbagai daerah di Indonesia dipegang oleh orang-orang Islam, bahkan partai Islam sekalipun. Belum mampu menjadikan daerah yang dia pimpin menjadi daerah yang agamis, tentunya mampu mengelaborasikan aturan-aturan Islam dalam aturan daerah (Perda) yang dipimpinya.munmgkin  hanya daerah istimewa aceh Aceh yang saat ini telah mampu menyisipkan aturan Islam dalam aturan daerah kemudian merealisasikan dengan sungguh-sungguh. Jawa Barat sampai saat ini belum mampu lantang maju kedepan menunjukan eksistensinya sebagai salah satu daerah yang menegakan syariat Islam. Padahal kita tahu orang nomor satu di Jawa Barat saat ini merupakan orang Islam (Muslim) dan diusung pula oleh partai Islam.


kini hilangnya semangat perjuangan penegakan Islam yang pernah diajarkan oleh Marijan Kartosoewiryo. saat ini para pemimpin yang beragamakan islam tidak lebih seperti para sahabat kartosoewiryo yang masuk pada tataran parlemen dan kemudian lupa pada orientasi awal mereka. Maka saat ini perlu untuk merevitalisasi perjuangan yang pernah diajarkan oleh jendral besar NII.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Bandung

Jurusan Sejarah Peradaban Islam Semester VII,

Kader HMI Komisariat Adab dan Humaniora.
Share this article :

Posting Komentar


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. LAPMI CAKABA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger