Home » » Dari Cak Nur ke Gus Hamid

Dari Cak Nur ke Gus Hamid

Written By Unknown on Rabu, 05 September 2012 | 11.22

Tahun 1973, Cak Nur (Dr. Nucholish Madjid) menggebrak dunia pemikiran Islam Indonesia dengan gagasan yang menggoncang nalar umat: Islam perlu disekularisasi. Saat itu, 3 Januari 1973, Cak Nur memaparkan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”

Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999) – Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi, menurut Nurcholish, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti menimbulkan perpecahan dan mengorbankan keutuhan umat. Kata Cak Nur dalam makalahnya: “… pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...”

Menurut Nurcholish Madjid, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’. Jadi, Nurcholish Madjid sendiri pada tahun 1970 sudah menggunakan istilah ”liberalisasi” untuk proyek Pembaruan Islam-nya. Karena itu, bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awal tahun 1970-an.


Selama empat dekade, gagasan Nurcholish Madjid terus dipertahankan. Sebagian, bahkan mensakralkan gagasan sekularisasi. Sudah banyak ulama dan cendekiawan Muslim mengkritisi gagasan sekularisasi. Mohammad Natsir, Prof. HM Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Ridwan Saidi, Abdul Qadir Djaelani, adalah diantara sederet tokoh dan cendekiawan Muslim yang secara tajam mengkritisi gagasan sekularisasi Cak Nur. Puluhan cendekiawan lain pun telah angkat pena secara tajam.

Kritik tajam, mendasar, dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi telah diberikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, melalui bukunya, Islam and Secularism, sejak awal 1980-an. Tahun 2010, Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta menerbitkan bukunya yang berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Tahun 1995, Faisal Ismail, menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.

Meskipun sudah begitu banyak cendekiawan yang mengkritisi Nurcholish Madjid, tetapi nama dan pemikiran Cak Nur tetap saja dikibarkan dan disakralkan. Berbagai acara ritual tahunan bahkan digelar untuk mengenang dan melestarikan gagasannya. Karena merupakan alumnus Pesantren Modern Gontor Ponorogo, nama Cak Nur terkadang diidentikkan dengan Pesantren Gontor Ponorogo.

Jika ditelaah, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid memang mengadopsi pemikiran sekularisasi dalam dunia Kristen yang sebelumnya sudah dilontarkan oleh Harvey Cox melalui buku terkenalnya, The Secular City. Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).

Pengaruh buku Harvey Cox ini sangat besar, melintasi batas-batas negara. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. (Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85).

Dalam artikelnya tersebut, Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79).

Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan Harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya. Pengaruh Cox baru tampak jelas pada pemikiran Nurcholish Madjid yang ketika itu menjadi ketua umum satu organisasi mahasiswa Islam.

Sejak awal mula, pemikiran Nurcholish Madjid ini menimbulkan kehebohan. Meskipun pernah dijuluki sebagai “Natsir muda”, tetapi Mohammad Natsir sendiri mengaku kecewa dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan di kediamannya, pada 1 Juni 1972, M. Natsir mengungkapkan kerisauannya akan gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, dari judul aslinya “Muslim Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia, yang merupakan disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS.

Respon yang sangat keras terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid juga diberikan oleh tokoh DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).

M. Natsir juga pernah memberikan pesan khusus kepada para cendekiawan Muslim Indonesia, seperti Amien Rais dkk., tentang bahaya sekularisasi: ”Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi” ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.” (A. Watik Pratiknya (ed.), Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989)

Kini, setelah empat dekade gelombang sekularisasi yang dimotori Cak Nur dan kawan-kawan digulirkan dan sebagiannya bahkan sengaja dilestarikan, -- atas kehendak dan izin Allah – tampillah sosok unik di pentas pemikiran dan dakwah Islam Indonesia, bahkan dunia internasional. Sosok itu adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Selama beberapa tahun terakhir, tampilnya putra pendiri Pesantren Gontor Ponorogo di pentas pemikiran Islam telah memberikan tawaran baru yang berlawanan dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Dr. Hamid F. Zarkasyi (Gus Hamid) bukan saja mengkritisi pemikiran Cak Nur, tetapi juga menawarkan gagasan besar yang sedang melaju kencang di dunia Islam, yaitu Islamisasi Ilmu.

Selama tahun 2004, masyarakat sudah mulai mengenal pemikiran Gus Hamid melalui rubrik Prolog dan Epilog di Jurnal (Majalah) ISLAMIA. Dalam catatan Redaksi ISLAMIA, kolom Gus Hamid merupakan kolom yang paling banyak diminati pembaca. Kemudian, sejak tahun 2009, INSISTS menjalin kerjasama degan Harian Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran Islam, Islamia-Republika, yang terbit bulanan, setiap hari Kamis pekan ketiga.

Di Jurnal Islamia versi koran yang terbit empat halaman ini, Gus Hamid juga menulis kolom tetap yang diberi namaMISYKAT. Gagasan-gagasannya tentang de-sekularisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi, secara konsisten mewarnai berbagai tulisannya. Uniknya, kolom MISYKAT Gus Hamid di Harian Republika ini tercatat sebagai kolom yang paling diminati pembaca. Survei Litbang Harian Republika tahun 2010 menunjukkan, Jurnal Islamia-Republika, merupakan rubrik non-berita yang paling banyak dibaca oleh pembaca Republika.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa saat ini, Gus Hamid merupakan sala satu dari deretan kolomnis terbaik saat ini. Dan kini, kumpulan artikel dan berbagai tulisannya yang tersebar di beberapa media, telah dihimpun dalam satu buku berjudul “MISYKAT: ISLAM, WESTERNISASI, DAN LIBERALISASI (JAKARTA: INSISTS, 2012).

Membaca beberapa karya Gus Hamid, khususnya buku Misykat ini, tidaklah berlebihan jika kita berkesimpulan, bahwa Era Sekularisasi Nurcholish Madjid sudah memasuki masa senja. Kini, insyaAllah, dunia pemikiran Islam Indonesia sedang memasuki gairah dan era baru: Era Islamisasi Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Singkatya: Era Cak Nur telah berganti menjadi Era Gus Hamid. Insya Allah,… Allahu Akbar!.
Share this article :

Posting Komentar


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. LAPMI CAKABA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger